Dalam khazanah sejarah dan peradaban Islam, ilmu selalu menjadi tema sentral dalam upaya pembangunan masyarakat. Mulai dari aspek moril hingga aspek materiel semuanya tak luput dari diskursus para ilmuwan Islam sebagai pewaris risalah kenabian. Ilmu dipandang sebagai langkah awal dalam upaya menciptakan tatanan hidup yang paripurna, realistis, dan konsekuen terhadap konsep ketuhanan.
Islam adalah
agama ilmu. Di tengah dahsyatnya kemunduran moral dan etika penduduk Mekkah di
zaman jahiliyyah, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم
diutus sebagai rasul dengan risalahnya yang diawali dengan kata “Bacalah!”.
Perintah membaca sebagai awal risalah mulia, membuktikan bahwa kedudukan “ilmu”
dalam Islam sangat fundamental.
Al-Qur’an turun
memberikan sebuah cara pandang baru bahwa menuntut ilmu yang berkaitan dengan
aktivitasnya sebagai hamba Allah adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan
oleh setiap muslim. Inilah yang dinamakan tsaqofah (konsep yang lahir dari
akidah) seperti ilmu tauhid, fikih (hukum islam), dan akhlak (tata hidup).
Sementara itu,
mempelajari ilmu terapan diniatkan untuk membela Islam dan kaum muslimin, bukan
malah menghancurkannya. Dalam hal ini Rasulullah pernah mengirimkan para
sahabatnya untuk mempelajari teknologi manjanik (alat perang untuk melontar
batu) dari bangsa lain tanpa mengambil budaya kaum kafir dan setuju dengan
akidah paganisme mereka.
Islam berhasil
mengubah cara bangsa Arab memandang dunia (worldview), yang semula menjadikan
pengalaman semata sebagai sumber ilmu, kini menempatkan wahyu sebagai sumber tsaqofah,
sekaligus penunjang ilmu pengetahuan paling utama (superior). Sejak itu pula,
dimulailah sejarah peradaban Islam ditulis dengan tinta emas. Bangsa Arab
pasca-Islam mampu mencapai tatanan hidup terbaik dibanding bangsa-bangsa lain
di zamannya. Sebuah pencapaian dan kemajuan terbesar sepanjang sejarah umat
manusia yang dimulai dari perubahan cara manusia memandang, memperlakukan, atau
menilai dunia sebagai ciptaan Tuhan seluruh alam. Hal ini ditegaskan dalam
sebuah penelitian oleh Prof. Franz Rosenthal seorang pakar filologi dari Yale
University. Beliau menyatakan bahwa ciri yang tidak ditemukan pada peradaban
bangsa-bangsa lain di dunia adalah kedudukan ilmu dalam Islam sebagai “dominant
concept”.
Di awal
kelahiran worldview ini, “periode Mekah” atau yang juga dikenal dengan istilah
world-structure, struktur keimanan dan konsep ketuhanan dikuatkan sebagai asas
pijakan menjalani hidup. Kemudian, barulah skema konfigurasi ilmu pengetahuan
(scientific conceptual scheme) yang berasaskan nilai-nilai ketuhanan secara
perlahan tumbuh pada periode Madinah. Kota Madinah yang dipimpin Rasulullah
pada saat itu terdiri dari suku, kepercayaan, serta budaya yang beragam namun
lambat laun menjadi sebuah negeri superpower yang tak terkalahkan.
Dengan fakta
tersebut, tidaklah mengherankan jika di kemudian hari, bangsa-bangsa lain
meniru apa yang dilakukan oleh suatu bangsa yang menempatkan ilmu sesuai
perspektif Islam. Sebut saja misalnya, “mozarabic culture”. Istilah ini yang
cukup populer di kalangan pengamat dan para ilmuwan Eropa saat menggambarkan
fenomena warga eropa yang kearab-araban, alias kagum dengan budaya Arab
sehingga cenderung mengikuti gaya hidup orang Arab.
Saat peradaban
Islam dominan di Spanyol, marak sekali orang-orang Eropa meniru cara-cara hidup
kaum muslimin seperti bahasa, pakaian, hingga metode belajar. Fenomena semacam
ini lazim terjadi pada kebudayaan yang inferior (lemah) terhadap kebudayaan
yang superior (kuat atau mendominasi). Tentu saja kita akrab dengan nama-nama
saintis Barat seperti Robert Boyle (1691), Isaac Newton (1727), Charles Darwin
(1882) atau Galileo Galilei (1642), dan deretan ilmuan hebat di zamannya. Tapi
pernahkah kita bertanya, apa yang orang-orang Inggris lakukan sebelum tahun
1600?
Dalam buku The
Newton Handbook, (London, Routlege & Kegan Paul, 1986) sepucuk surat
dikirim oleh Newton kepada sahabatnya, Robert Hooke. Ia menyadari bahwa “Jika
aku dapat melihat lebih jauh, maka itu lantaran aku berdiri diatas pundak para
raksasa.” Narasi senada juga diungkapkan oleh Bernard de Charters yang
mengatakan: “Kami ini hanyalah cebol yang duduk dipunggung para raksasa.” Dari
pernyataan tersebut, jelaslah bahwa para ilmuwan tidak turun dari langit atau
muncul tiba-tiba dari dalam tanah, akan tetapi ilmuwan tersebut belajar dari
para pendahulunya, mewarisi keilmuan yang sebelumnya sudah dibangun, namun
perlu dikembangkan dan disempurnakan.
Kita mendengar
bahwa Galileo Galilei (1642) asal Italia dan Nicholas Copernicus (1543) asal
Polandia kerap disebut sebagai pelopor sains modern. Namun menarik untuk
ditanyakan, siapakah yang giat melakukan riset, observasi, dan penelitian
abad-abad sebelumnya? Sebelum mereka tercerahkan. Banyak yang belum tahu, bahwa
ternyata Kepler dan Copernicus terinspirasi oleh al-Battani yang menulis buku
“al-Zij”, setelah diterjemahkan ke Bahasa Latin oleh Robertus Retinentis dan
Plato Tivoli dengan judul “De Scienta Stellarum” yang edisi pertamanya dicetak
di Nuremberg, Jerman pada tahun 1537 bersamaan dengan kitab al-Farghani dengan
judul “Rudimenta Astronomica Alfargani". Jauh sebelum itu, sejarah
mencatat bahwa pemerintahan Islam yang berkuasa diawal abad ke-9 Masehi, adalah
puncak keseriusan kaum muslimin dalam menjaga dan mengembangkan berbagai
disiplin ilmu pengetahuan yang disari dari peradaban Yunani Kuno dan Persia.
Sebuah Research
Centre sekaligus perpustakaan terbesar di masanya bernama “Bayt al-Hikmah”
sukses melahirkan deretan ilmuwan dan pakar di bidangnya seperti; Jabir bin
Hayyan (815 M) pakar kimia, al-Khawarizmi (863 M) pelopor matematika modern, al-Kindi
(873 M) ahli filsafat, Abu Ma’syar (886 M) pakar astronomi, Ibn Sina (1037 M)
bapak kedokteran dan ahli metafisika, Ibn Haytsam (1040 M) ahli Fisika,
al-Biruni (1048 M) peletak antropologi modern dan geografi, serta deretan nama
besar lainnya yang menjadi lentera di tengah gelapnya dunia Barat saat itu.
Pengakuan akan
hal ini, dibeberkan oleh seorang pakar sejarawan sains, peneliti hebat abad
pertengahan asal Amerika Serikat, peraih penghargaan George Sarton Medal 1992,
untuk “Prestasi Cendikiawan Seumur Hidup” ialah Prof. Edward Grant, dalam
bukunya The Foundation of Modern Science in the Middle Ages yang diterbitkan di
Cambridge University.
Edward
mengungkapkan, “Para sarjana Latin abad ke-12 mengakui bahwa semua peradaban
tidak setara. Mereka sangat sadar bahwa dalam hal sains dan filsafat alam,
peradaban mereka lebih rendah dari pada Islam. Mereka menghadapi pilihan yang
jelas antara harus belajar dari yang lebih superior atau tetap menjadi inferior
selamanya.” Demikianlah dahsyatnya implikasi budaya ilmu yang diletakkan pada
koridor worldview Islam. Pertukaran, kolaborasi, dan distribusi ilmu menjadi
hal paling utama. Terlepas dari perbedaan keyakinan, bangsa, dan bahasa, namun
tentu dengan dukungan kekuasaan Islam yang berdiri kokoh.
Sebab, umat muslim
tahu betul bahwa asas kemanfaatan dari sebuah disiplin ilmu adalah mutlak untuk
dilestarikan sebagai sarana untuk menunjang dan memajukan kehidupan umat
manusia di dunia, mengelola bumi sebagaimana yang Allah perintahkan lalu
menerima pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Namun, saat ini kondisi umat
Islam telah berbeda. Segumpal problematika umat Islam yang sedang mengakar saat
ini menurut Prof. Naquib al-Attas salah satunya berporos pada fenomena
"krisis keilmuan". Umat Islam yang telah kehilangan kekuatan
politiknya di seantreo dunia berhasil diarahkan pada worldview sekular yang
membawa manusia pada pemujaan kepada akal dan rasio semata.
Bentuk lanjutan
dari hal tersebut, lahirlah beberapa paham yang secara frontal menabrak koridor
syariat Islam seperti liberalisme dan sekularisme. Salah satu produk paham
kebebasan berlebihan, yang bisa kita saksikan sekarang adalah liberalisasi
hukum Islam hingga paham liberal yang disuntikkan di berbagai lembaga
pendidikan Islam negeri sekalipun. Tentang bukti nyata sekularisasi dan
liberalisasi dalam pendidikan nasional bisa anda temukan dalam buku “Virus
Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam”, dan “Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi
Islam di Perguruan Tinggi” yang ditulis oleh Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia,
Dr. Adian Husaini.
Produk ilmiah
yang diperoleh dari sistem sekuler akan mencabik-cabik syari’at Islam secara
berani dan terang-terangan, meremehkan hukum Allah, bahkan sampai pada titik
bahwa “Bisa jadi, Al-Qur’an tidak lagi pantas untuk menjadi pedoman hidup,
perlu interpretasi ulang terhadapnya”. Fenomena seperti ini sekali lagi
disebabkan oleh tidak selarasnya semangat berketuhanan dengan semangat
berpengetahuan, sebuah kondisi di mana manusia merasa mampu hidup bersandar
pada rasio (akal) semata, lalu secara mutlak menentukan dan memutuskan urusan
dunianya tanpa tuntunan dari Sang Pencipta dunia. Hidup dan bertindak begitu
saja, tanpa panduan ilahi (divine revelation) padahal panduan tersebut yang
harusnya ditempatkan sebagai asas untuk menilai sesuatu (true report). Bencana
ini dinamakan budaya ingkar ilmu, ketika dalam hidupnya, para hamba tak lagi
mengagungkan Allah sebagai Yang Maha Mengetahui.
Sebenarnya,
keresahan ini sudah lama berkecamuk di dada seorang Perdana Menteri Indonesia,
sekaligus yang dipercaya oleh ulama se-dunia untuk memimpin Liga Muslim Dunia
(Rabithah Alam al-Islami), organisasi Ulama dan Cendikiawan Muslim paling
tinggi dan bergengsi hingga saat ini. Ialah yang bergelar Pahlawan Nasional,
Mohammad Natsir. Lantang beliau menegaskan dalam pidatonya di Majelis
Konstituante, 2 November 1957 :
“Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, dan industrialisasi yang luar biasa telah memberikan taraf kehidupan
materi paling tinggi dalam sejarah manusia. Dalam kegiatan menaklukkan materi
yang ada disekelilingnya, manusia lupa kepada dirinya sendiri sebagai makhluk
Tuhan”. Masih dengan gema suara yang sama, beliau menutup pidatonya, “Maka,
Saudara Ketua, dengan penuh tanggung jawab kami ingin mengajak kita, bangsa
Indonesia yang kita cintai itu, untuk siap siaga menyelamatkan diri dan
keturunannya dari arus sekularisme itu, dan mengajak dengan sungguh-sungguh
supaya dengan hati yang teguh, merintis jalannya memberikan dasar hidup yang
kukuh kuat sesuai dengan fitrah manusia, agar akal kita dan kalbunya, seimbang
kecerdasan dengan akhlak budi pekertinya, yang hanya dapat dengan kembali
kepada tuntunan Ilahi”. (M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif
Islam, Jakarta: DDII, 2001, hlm.195-230).
Kerusakan yang
ditimbulkan akibat bencana sekularisme ini tidak boleh dibiarkan begitu saja.
Harus ada upaya penanggulangan yang dilakukan agar citra Islam yang tinggi
tidak runtuh dengan kondisi kaum muslimin yang terpuruk. Dengan permasalahan
yang begitu kompleks, maka harus dihadirkan solusi yang menyeluruh sesuai
dengan tuntunan wahyu. Diawali dengan pemikiran mendasar terkait keimanan
kepada Allah, tujuan hidup, standar perbuatan, dan tolok ukur kebahagiaan
manusia Indonesia yang mayoritas Muslim. Pun beserta solusi jangka pendek dan jangka
panjang sesuai konsep yang ditawarkan Islam dalam al-Qur'an dan Sunnah agar
Islam dan kaum muslimin dapat kembali memberikan pengaruh kebaikan bagi seluruh
masyarakat di dunia.
Ditulis oleh :
Muhammad Amrul Nasir Penulis adalah Alumni MAN 1 Kendari. Saat ini Mahasiswa S1
Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Terbuka Indonesia,
juga masih menyelesaikan program S1 Jurusan Syari’ah dan Studi Islam di
Universitas King Abdulaziz, Jeddah, Kerajaan Arab Saudi. Sebelumnya telah
menyelesaikan Pendidikan Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir,
tahun 2018. Kritik dan saran bisa melalui amrul.nasirh99@gmail.com
0 Komentar