Header Ads Widget

FAQ pendaftaran King Abdulaziz University

Ticker

6/recent/ticker-posts

Islam sebagai Ilmu dan Ideologi, di antara rasionalitas dan sekularisme

Dalam khazanah sejarah dan peradaban Islam, ilmu selalu menjadi tema sentral dalam upaya pembangunan masyarakat. Mulai dari aspek moril hingga aspek materiel semuanya tak luput dari diskursus para ilmuwan Islam sebagai pewaris risalah kenabian. Ilmu dipandang sebagai langkah awal dalam upaya menciptakan tatanan hidup yang paripurna, realistis, dan konsekuen terhadap konsep ketuhanan.

Islam adalah agama ilmu. Di tengah dahsyatnya kemunduran moral dan etika penduduk Mekkah di zaman jahiliyyah, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم diutus sebagai rasul dengan risalahnya yang diawali dengan kata “Bacalah!”. Perintah membaca sebagai awal risalah mulia, membuktikan bahwa kedudukan “ilmu” dalam Islam sangat fundamental.



Al-Qur’an turun memberikan sebuah cara pandang baru bahwa menuntut ilmu yang berkaitan dengan aktivitasnya sebagai hamba Allah adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim. Inilah yang dinamakan tsaqofah (konsep yang lahir dari akidah) seperti ilmu tauhid, fikih (hukum islam), dan akhlak (tata hidup).

Sementara itu, mempelajari ilmu terapan diniatkan untuk membela Islam dan kaum muslimin, bukan malah menghancurkannya. Dalam hal ini Rasulullah pernah mengirimkan para sahabatnya untuk mempelajari teknologi manjanik (alat perang untuk melontar batu) dari bangsa lain tanpa mengambil budaya kaum kafir dan setuju dengan akidah paganisme mereka.

Islam berhasil mengubah cara bangsa Arab memandang dunia (worldview), yang semula menjadikan pengalaman semata sebagai sumber ilmu, kini menempatkan wahyu sebagai sumber tsaqofah, sekaligus penunjang ilmu pengetahuan paling utama (superior). Sejak itu pula, dimulailah sejarah peradaban Islam ditulis dengan tinta emas. Bangsa Arab pasca-Islam mampu mencapai tatanan hidup terbaik dibanding bangsa-bangsa lain di zamannya. Sebuah pencapaian dan kemajuan terbesar sepanjang sejarah umat manusia yang dimulai dari perubahan cara manusia memandang, memperlakukan, atau menilai dunia sebagai ciptaan Tuhan seluruh alam. Hal ini ditegaskan dalam sebuah penelitian oleh Prof. Franz Rosenthal seorang pakar filologi dari Yale University. Beliau menyatakan bahwa ciri yang tidak ditemukan pada peradaban bangsa-bangsa lain di dunia adalah kedudukan ilmu dalam Islam sebagai “dominant concept”.

Di awal kelahiran worldview ini, “periode Mekah” atau yang juga dikenal dengan istilah world-structure, struktur keimanan dan konsep ketuhanan dikuatkan sebagai asas pijakan menjalani hidup. Kemudian, barulah skema konfigurasi ilmu pengetahuan (scientific conceptual scheme) yang berasaskan nilai-nilai ketuhanan secara perlahan tumbuh pada periode Madinah. Kota Madinah yang dipimpin Rasulullah pada saat itu terdiri dari suku, kepercayaan, serta budaya yang beragam namun lambat laun menjadi sebuah negeri superpower yang tak terkalahkan.

Dengan fakta tersebut, tidaklah mengherankan jika di kemudian hari, bangsa-bangsa lain meniru apa yang dilakukan oleh suatu bangsa yang menempatkan ilmu sesuai perspektif Islam. Sebut saja misalnya, “mozarabic culture”. Istilah ini yang cukup populer di kalangan pengamat dan para ilmuwan Eropa saat menggambarkan fenomena warga eropa yang kearab-araban, alias kagum dengan budaya Arab sehingga cenderung mengikuti gaya hidup orang Arab.

Saat peradaban Islam dominan di Spanyol, marak sekali orang-orang Eropa meniru cara-cara hidup kaum muslimin seperti bahasa, pakaian, hingga metode belajar. Fenomena semacam ini lazim terjadi pada kebudayaan yang inferior (lemah) terhadap kebudayaan yang superior (kuat atau mendominasi). Tentu saja kita akrab dengan nama-nama saintis Barat seperti Robert Boyle (1691), Isaac Newton (1727), Charles Darwin (1882) atau Galileo Galilei (1642), dan deretan ilmuan hebat di zamannya. Tapi pernahkah kita bertanya, apa yang orang-orang Inggris lakukan sebelum tahun 1600?

Dalam buku The Newton Handbook, (London, Routlege & Kegan Paul, 1986) sepucuk surat dikirim oleh Newton kepada sahabatnya, Robert Hooke. Ia menyadari bahwa “Jika aku dapat melihat lebih jauh, maka itu lantaran aku berdiri diatas pundak para raksasa.” Narasi senada juga diungkapkan oleh Bernard de Charters yang mengatakan: “Kami ini hanyalah cebol yang duduk dipunggung para raksasa.” Dari pernyataan tersebut, jelaslah bahwa para ilmuwan tidak turun dari langit atau muncul tiba-tiba dari dalam tanah, akan tetapi ilmuwan tersebut belajar dari para pendahulunya, mewarisi keilmuan yang sebelumnya sudah dibangun, namun perlu dikembangkan dan disempurnakan.

Kita mendengar bahwa Galileo Galilei (1642) asal Italia dan Nicholas Copernicus (1543) asal Polandia kerap disebut sebagai pelopor sains modern. Namun menarik untuk ditanyakan, siapakah yang giat melakukan riset, observasi, dan penelitian abad-abad sebelumnya? Sebelum mereka tercerahkan. Banyak yang belum tahu, bahwa ternyata Kepler dan Copernicus terinspirasi oleh al-Battani yang menulis buku “al-Zij”, setelah diterjemahkan ke Bahasa Latin oleh Robertus Retinentis dan Plato Tivoli dengan judul “De Scienta Stellarum” yang edisi pertamanya dicetak di Nuremberg, Jerman pada tahun 1537 bersamaan dengan kitab al-Farghani dengan judul “Rudimenta Astronomica Alfargani". Jauh sebelum itu, sejarah mencatat bahwa pemerintahan Islam yang berkuasa diawal abad ke-9 Masehi, adalah puncak keseriusan kaum muslimin dalam menjaga dan mengembangkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang disari dari peradaban Yunani Kuno dan Persia.

Sebuah Research Centre sekaligus perpustakaan terbesar di masanya bernama “Bayt al-Hikmah” sukses melahirkan deretan ilmuwan dan pakar di bidangnya seperti; Jabir bin Hayyan (815 M) pakar kimia, al-Khawarizmi (863 M) pelopor matematika modern, al-Kindi (873 M) ahli filsafat, Abu Ma’syar (886 M) pakar astronomi, Ibn Sina (1037 M) bapak kedokteran dan ahli metafisika, Ibn Haytsam (1040 M) ahli Fisika, al-Biruni (1048 M) peletak antropologi modern dan geografi, serta deretan nama besar lainnya yang menjadi lentera di tengah gelapnya dunia Barat saat itu.

Pengakuan akan hal ini, dibeberkan oleh seorang pakar sejarawan sains, peneliti hebat abad pertengahan asal Amerika Serikat, peraih penghargaan George Sarton Medal 1992, untuk “Prestasi Cendikiawan Seumur Hidup” ialah Prof. Edward Grant, dalam bukunya The Foundation of Modern Science in the Middle Ages yang diterbitkan di Cambridge University.

Edward mengungkapkan, “Para sarjana Latin abad ke-12 mengakui bahwa semua peradaban tidak setara. Mereka sangat sadar bahwa dalam hal sains dan filsafat alam, peradaban mereka lebih rendah dari pada Islam. Mereka menghadapi pilihan yang jelas antara harus belajar dari yang lebih superior atau tetap menjadi inferior selamanya.” Demikianlah dahsyatnya implikasi budaya ilmu yang diletakkan pada koridor worldview Islam. Pertukaran, kolaborasi, dan distribusi ilmu menjadi hal paling utama. Terlepas dari perbedaan keyakinan, bangsa, dan bahasa, namun tentu dengan dukungan kekuasaan Islam yang berdiri kokoh.

Sebab, umat muslim tahu betul bahwa asas kemanfaatan dari sebuah disiplin ilmu adalah mutlak untuk dilestarikan sebagai sarana untuk menunjang dan memajukan kehidupan umat manusia di dunia, mengelola bumi sebagaimana yang Allah perintahkan lalu menerima pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Namun, saat ini kondisi umat Islam telah berbeda. Segumpal problematika umat Islam yang sedang mengakar saat ini menurut Prof. Naquib al-Attas salah satunya berporos pada fenomena "krisis keilmuan". Umat Islam yang telah kehilangan kekuatan politiknya di seantreo dunia berhasil diarahkan pada worldview sekular yang membawa manusia pada pemujaan kepada akal dan rasio semata.

Bentuk lanjutan dari hal tersebut, lahirlah beberapa paham yang secara frontal menabrak koridor syariat Islam seperti liberalisme dan sekularisme. Salah satu produk paham kebebasan berlebihan, yang bisa kita saksikan sekarang adalah liberalisasi hukum Islam hingga paham liberal yang disuntikkan di berbagai lembaga pendidikan Islam negeri sekalipun. Tentang bukti nyata sekularisasi dan liberalisasi dalam pendidikan nasional bisa anda temukan dalam buku “Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam”, dan “Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi” yang ditulis oleh Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Dr. Adian Husaini.

Produk ilmiah yang diperoleh dari sistem sekuler akan mencabik-cabik syari’at Islam secara berani dan terang-terangan, meremehkan hukum Allah, bahkan sampai pada titik bahwa “Bisa jadi, Al-Qur’an tidak lagi pantas untuk menjadi pedoman hidup, perlu interpretasi ulang terhadapnya”. Fenomena seperti ini sekali lagi disebabkan oleh tidak selarasnya semangat berketuhanan dengan semangat berpengetahuan, sebuah kondisi di mana manusia merasa mampu hidup bersandar pada rasio (akal) semata, lalu secara mutlak menentukan dan memutuskan urusan dunianya tanpa tuntunan dari Sang Pencipta dunia. Hidup dan bertindak begitu saja, tanpa panduan ilahi (divine revelation) padahal panduan tersebut yang harusnya ditempatkan sebagai asas untuk menilai sesuatu (true report). Bencana ini dinamakan budaya ingkar ilmu, ketika dalam hidupnya, para hamba tak lagi mengagungkan Allah sebagai Yang Maha Mengetahui.

Sebenarnya, keresahan ini sudah lama berkecamuk di dada seorang Perdana Menteri Indonesia, sekaligus yang dipercaya oleh ulama se-dunia untuk memimpin Liga Muslim Dunia (Rabithah Alam al-Islami), organisasi Ulama dan Cendikiawan Muslim paling tinggi dan bergengsi hingga saat ini. Ialah yang bergelar Pahlawan Nasional, Mohammad Natsir. Lantang beliau menegaskan dalam pidatonya di Majelis Konstituante, 2 November 1957 :

 “Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan industrialisasi yang luar biasa telah memberikan taraf kehidupan materi paling tinggi dalam sejarah manusia. Dalam kegiatan menaklukkan materi yang ada disekelilingnya, manusia lupa kepada dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan”. Masih dengan gema suara yang sama, beliau menutup pidatonya, “Maka, Saudara Ketua, dengan penuh tanggung jawab kami ingin mengajak kita, bangsa Indonesia yang kita cintai itu, untuk siap siaga menyelamatkan diri dan keturunannya dari arus sekularisme itu, dan mengajak dengan sungguh-sungguh supaya dengan hati yang teguh, merintis jalannya memberikan dasar hidup yang kukuh kuat sesuai dengan fitrah manusia, agar akal kita dan kalbunya, seimbang kecerdasan dengan akhlak budi pekertinya, yang hanya dapat dengan kembali kepada tuntunan Ilahi”. (M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: DDII, 2001, hlm.195-230).

Kerusakan yang ditimbulkan akibat bencana sekularisme ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Harus ada upaya penanggulangan yang dilakukan agar citra Islam yang tinggi tidak runtuh dengan kondisi kaum muslimin yang terpuruk. Dengan permasalahan yang begitu kompleks, maka harus dihadirkan solusi yang menyeluruh sesuai dengan tuntunan wahyu. Diawali dengan pemikiran mendasar terkait keimanan kepada Allah, tujuan hidup, standar perbuatan, dan tolok ukur kebahagiaan manusia Indonesia yang mayoritas Muslim. Pun beserta solusi jangka pendek dan jangka panjang sesuai konsep yang ditawarkan Islam dalam al-Qur'an dan Sunnah agar Islam dan kaum muslimin dapat kembali memberikan pengaruh kebaikan bagi seluruh masyarakat di dunia.

 

Ditulis oleh : Muhammad Amrul Nasir Penulis adalah Alumni MAN 1 Kendari. Saat ini Mahasiswa S1 Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Terbuka Indonesia, juga masih menyelesaikan program S1 Jurusan Syari’ah dan Studi Islam di Universitas King Abdulaziz, Jeddah, Kerajaan Arab Saudi. Sebelumnya telah menyelesaikan Pendidikan Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, tahun 2018. Kritik dan saran bisa melalui amrul.nasirh99@gmail.com


Posting Komentar

0 Komentar